Bank Syariah: Urgensi, Pengertian dan Prinsip

 



 

 

Bank syariah pada awalnya dipicu oleh kenyataan terdapatnya sebagian penduduk yang beragama Islam di Indonesia yang tidak bersedia memanfaatkan jasa perbankan konvensional, disebabkan ketidaksesuaian keyakinan mereka terhadap sistem operasional perbankan yang menggunakan instrumen bunga. Hal ini didukung temuan survai BI yang mendapatkan 30 persen dari umat Islam yang tidak mau berhubungan dengan bunga bank (Suharto, 2000).

Potensi tersembunyi dari kelompok masyarakat tersebut menurut Prabowo (2000), tentunya menjadi kerugian negara dalam mensejahterakan umat dan menggerakkan perekonomian nasional secara keseluruhan. Oleh karenanya, muncul pemikiran dari para cendekiawan muslim untuk mendirikan bank alternatif (syariah) di Indonesia yang terwujud dalam bentuk berdirinya bank syariah pertama yaitu Bank Muamalat Indonesia pada akhir tahun 1991.

Dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 2/8/PBI/2000 pasal 1, Bank Syariah adalah bank umum (sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 10 Tahun 1998) yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Adapun unit usaha syariah adalah unit kerja di kantor pusat bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang bank syariah.

Menurut Antonio (1999) dalam Ratnawati (2000), terdapat empat perbedaan mendasar antara bank konvensional dengan bank syariah.

Pertama dari segi akad dan legalitas. Akad yang dilakukan bank syariah memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

Kedua, mengenai struktur organisasi. Bank Syariah dapat memiliki struktur organisasi yang sama dengan bank konvensional, tetapi unsur yang membedakan adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis syariah.

Ketiga, mengenai bisnis dan usaha yang dibiayai. Pada Bank Syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah.

Keempat, mengenai lingkungan kerja dan Corporate Culture. Sifat amanah dan shidiq harus melandasi setiap karyawan sehingga tercipta profesionalisme yang berdasarkan Islam, dan dalam hal reward dan punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.

Dari kenyataan tersebut, terlihat bahwa prinsip syariah menjadi aturan dasar yang membentuk pola dan mengatur hubungan bank syariah baik intern (pengaturan manajemen usaha) maupun ekstern (pengaturan hubungan dengan nasabah/masyarakat). Berkaitan dengan pengaturan hubungan dengan nasabah terdapat terdapat lima prinsip dasar perbankan syariah dalam melakukan transaksi yaitu prinsip titipan atau simpanan (depository), prinsip bagi hasil (profit sharing), prinsip jual beli (sale dan purchase), prinsip sewa (operational lease and financial lease) dan prinsip jasa (fee-based service) (Satyo dan Izza, 2000).

1. Prinsip titipan atau simpanan (depository)

Prinsip ini dikenal juga dengan prinsip al wadi’ah. Nasabah menitipkan uang atau barangnya kepada pihak bank sebagai titipan murni, dan pihak bank tidak berhak menggunakan uang atau barang yang dititipkan. Namun demikian, pihak bank dapat saja menggunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu dengan meminta izin terlebih dahulu dari nasabah yang menitipkan tersebut.

Bank dapat memanfaatkan al wadiah untuk tujuan current account (giro) dan saving account (tabungan berjangka), dan semua keuntungan dari dana titipan tersebut yang berupa dana bagi hasil dari user of fund menjadi milik bank. Nasabah penitip, mendapatkan keuntungan berupa jaminan keamanan terhadap hartanya dan fasilitas giro lainnya, serta insentif berupa bonus yang tidak dipersyaratkan sebelumnya.

2. Prinsip bagi hasil (profit sharing)

Terdapat empat akad utama bagi hasil yaitu musyakarah, mudharabah, muzara’ah dan musaqah. Dalam musyakarah masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau amal (expertise) dengan keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Perbankan biasanya menggunakan prinsip ini dalam pembiayaan proyek maupun modal ventura.

Dalam mudharabah, pihak pertama (shahibul maal) menyediakan keseluruhan (100 %) modal dan pihak lainnya sebagai pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan dalam kontrak, sedangkan kerugian akan ditanggung pemilik modal selama kerugian bukan akibat kelalaian pengelola. Perbankan dapat menerapkan hal ini pada tabungan berjangka untuk tujuan khusus seperti tabungan haji, qurban, untuk deposito biasa, juga untuk pembiayaan modal kerja. Selanjutnya, al muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen dimana benih tanaman berasal dari pemilik lahan. Sebaliknya, al Musaqah adalah bentuk sederhana dari al muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggungjawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalannya, penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.

3. Prinsip jual beli (sale dan purchase)

Terdapat tiga jenis jual beli yang dapat dikembangkan dalam pembiayaan modal kerja dan investasi perbankan syariah yaitu bai’al murabahah, bai’as salam dan bai’al istishna. Bai’al murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati dan penjual harus memberitahu harga produk yang dibelinya. Dalam perbankan, umumnya diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi baik domestik maupun luar negeri, seperti melalui letter of credit (L/C). Bank Syariah memperoleh keuntungan dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah.

Bai’as salam merupakan pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari sementara pembayaran dilakukan di muka. Perbedaan dengan sistem ‘ijon’ dapat dilihat dari sisi barang dan penetapan harga beli. Dalam bai’as salam barang harus spesifik dan dapat ditimbang dengan jelas, serta penetapan harga beli dilakukan kedua belah pihak secara ridha. Bai’as salam dapat dipergunakan untuk pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Barang yang dibeli dapat berupa barang industri maupun barang non-industri.

Bai’al istishna adalah kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang, yang biasanya dipergunakan di bidang manufaktur. Kedua pihak sepakat atas harga dan sistem pembayaran, baik pembayaran dimuka, pembayaran cicilan ataupun ditangguhkan sampai pada waktu tertentu.

4. Prinsip sewa (Operational Lease dan Financial Lease)

Terdapat dia prinsip sewa yaitu al ijarah yang merupakan pemindahan hak guna atas barang atau jasa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang tersebut, dan al ijarah al muntahia bittamlik yaitu perjanjian sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan penyewa.

5. Prinsip jasa (fee based services)

Dalam perbankan syariah prinsip jasa ini meliputi lima bentuk transaksi yaitu berupa al wakalah yang dalam aplikasinya dapat berwujud seperti autodebet pembayaran rekening listrik, telepon dan lainnya, al kafalah dalam bentuk penjaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung, al hawalah dalam bentuk pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya, ar rahn yang berbentuk jaminan hutang atau gadai, dan al qard dalam bentuk meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan , yang umumnya diberikan kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya.

sebagai praktisi dalam dunia pendidikan

Belum ada Komentar untuk "Bank Syariah: Urgensi, Pengertian dan Prinsip "

Posting Komentar

Silahkan komentar sesuai topik yang di bahas, dan jangan memasang link.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel