Akhlak Al Karimah
KEKUATAN
JIWA YANG MEMBENTUK AKHLAK AL-KARIMAH

1. Definisi Akhlak al-Karimah
a. Ibnu Miskawih
ﺔﯾور ﻻو ﺮﻜﻓ ﺮﯿﻏ ﻦﻣ ﺎﮭﻟﺎﻌﻓأ ﻰﻟإ ﺎﮭﻟ ﺔﯿﻋاد ﺲﻔﻨﻠﻟ لﺎﺣ ﻖﻠﺨﻟا
“Akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan tanpa perlu berpikir dan pertimbangan lagi” (Ibn. Miskawaih, Thadzib al-Akhlaq, 1985; 25)
Kondisi jiwa seseorang dalam definisi Ibn Miskawaih di atas merupakan kondisi jiwa yang sudah terbiasa melakukan tindakan-tindakan tertentu, sehingga tindakan-tindakan tersebut seakan sudah mendarah daging, mereka akan melakukannya secara sepontan ketika mendapatkan stimulus tertentu.
b.
Al-Ghazali
ٍﺮْﺴُﯾَوٍﺔَﻟﻮُﮭُﺴِﺑَلﺎَﻌْﻓَُرِﺪْﺼُﺗﻷاﺎَﮭْﻨَﻋٌﺔَﺨِﺳاِﺲْﻔﱠﻨﻟاَرﻲِﻓٌﺔَﺌْﯿَھﻦﻋ
ةرﺎﺒﻋ ﻖﻠﺨﻟا ٍﺔﱠﯾِو َرٍﺮْﻜِﻓَوﻰَﻟِإٍﺔَﺟﺎَﺣِﺮْﯿَﻏْﻦِﻣ
“Akhlak
ialah gambaran keadaan jiwa berupa sifat-sifat yang sudah mendarah daging
yang mendorong dilakukannya perbutan-perbuatan
dengan mudah lagi gampang tanpa berfikir panjang” (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat,
2005; 890)
Gambaran sifat-sifat jiwa yang
sudah terlatih dan juga sudah mendarah daging yang dapat menjadi sumber
inspirasi dan mendorong tindakan-tindakan yang bersifat spontan.
Tindakan-tindakan seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai akhlak.
Apabila seuatu perbuatan dilakukan dengan mempertimbangkan dahulu, apa untung
ruginya bagi si pelaku perbuatan tersebut, maka belum dikatakan sebagai akhlak.
c. Prof.
Dr. Ahmad Amin
Seorang ahli Ilmu Akhlak modern,
yakni Ahmad Amin dalam bukunya Kitab al-Akhlaq,
menegaskan bahwa pada dasarnya akhlak adalah kehendak yang dibiasakan, bukan perbuatan yang tidak ada
kehendaknya. Seperti bernafas, denyut jantung, kedipan mata dan lain-lain
(Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, 2012;
10).
Akhlak merupakan perbuatan yang
mudah dilakukan karena telah didik dengan membiasakannya dalam kehidupan
sehari-hari. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
dan melalui ikhtiar. Pelakunya mengetahui baik atau buruk dari perbuatan yang
dilakukannya. Karena perbuatan akhlak juga termasuk perbuatan yang kelak akan
dipertanggung-jabawkan di hadapan Allah Swt.
Selain tiga tokoh ahli dalam
bidang akhlak tersebut di atas sebenarnya masih banyak, tetapi pada dasarnya
sama bahwa akhlak unsurnya terdiri dari perbuatan sadar (ada iradah dan
ikhtiar) yang didorong oleh sifat-sifat yang sudah terbiasa sehingga sekan-akan
spontan dan terkesan tidak usah dipikirkan sebelumnya.
Selamat, Saudara telah berhasil
memahami apa itu definisi akhlak. Kalau masih ada waktu coba baca sekali lagi!
Selanjutnya dalam KB 1 ini Saudara akan menganalisis unsur-unsur yang ada di
dalam jiwa Saudara yang dapat mempengaruhi terbentuknya akhlak.
A. Kekuatan
Jiwa dan Sumber Terbentuknya Akhlak al-Karimah
Setelah Saudara mendalami
berbagai pendapat mengenai definisi akhlak, kira-kira Bagaimana pendapat
Saudara? Apakah akhlak seseorang bisa terbentuk dengan sendirinya? Ataukah
harus dibentuk dengan mendidik dan membiasakan sampai betul-betul mendarah
daging dalam dirinya? Tentunya Saudara akan setuju kalau akhlak seseorang itu
harus dididik dan dibiasakan secara terus menerus dalam lingkungannya di mana
ia tinggal sampai benar-benar melekat dalam jiwanya.
Dalam rangka pembentukan akhlak
seseorang, Saudara perlu terlebih dahulu memahami kekuatan-kekuatan jiwa yang
dapat mendorong terbentuknya akhak tersebut. Baik bacalah dengan saksama
penjelasan berikut ini:
Ibu Miskawaih menjelaskan bahwa
di dalam jiwa seseorang itu terdapat tiga kekuatan (al-quwwah) yang sangat penting dalam membentuk akhlak manusia.
Sementara Imam Al-Ghazali menyebutkan sebagai Ummahat al-Akhlaq wa Ushuluha dengan ditambahkan satu kekuatan (al-quwwah) sehingga genap menjadi empat
kekuatan (al-quwwah) (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat,
2005; 936), keempatnya adalah sebagai
berikut:
1. Quwwah al-Ilmi
Quwwah al-Ilmi adalah kekuatan yang berasal dari
akal. Dengan akal inilah manusia
dapat dengan mudah membedakan mana yang jujur dan mana yang bohong dalam
berbicara, mana yang benar dan mana yang salah dalam mengambil keputusan, mana
yang baik dan mana yang buruk dalam bertindak. Kekuatan inilah yang menjadi
pembeda manusia dengan jenis binatang. Dengan akal manusia dapat mencipta dan
mengembangakan budaya sehingga terus berkembang ke arah yang lebih baik dan
lebih maju dari sebelumnya.
Buahnya adalah hikmah, yakni
pemahaman yang mendalam tentang segala sesuatu sesuai dengan syariat Allah Swt.
Sebagaimana firman-Nya:
ﱠﻻِإُﺮﱠﻛﱠﺬﺎَﯾﻣ َواًﺮﯿِﺜَﻛاًﺮْﯿ َﺧﻲِﺗوُأْﺪَﻘَﻓَﺔَﻤْﻜَتِﺤْﺆُﯾﻟاْﻦَﻣُءﺎَﺸَﯾَوْﻦَﻣﺔَﻤْﻜﻲِﺤﺗ ْﺆُﯾﻟا (269:ةﺮﻘﺒﻟا) ِبﺎَﺒْﻟَﻮُﻟوُأْﻷا
Artinya:
“Dia berikan hikmah kepada yang Dia kehendaki dan Siapa yang diberikan al-hikmah maka sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang sangat banyak. Dan hanya orang-orang memiliki akal fikiranlah yang mampu memahaminya”. (QS. Al-Baqarah/2:169)
Al-Maraghi menjelaskan bahwa yang
dimaksud hikmah adalah ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu yang dapat mempengaruhi
jiwa pemiliknya dan membimbing kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan
yang dapat membawa manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat (Al-Maraghi Jilid III,
h. 40)
Hikmah dalam pengertian di atas,
apabila dimiliki seseorang bisa menjadi salah satu sumber penting dalam
pembentukan akhlak yang mulia. Dan inilah tujuan utama diutusnya Nabi Kita
Muhammad Saw. ke dunia ini. Sebagaimana sabda beliau. berikut:
ُﺖْﺜِﻌُﺑﺎَﻤﱠﻧِإ":َﻢﱠﻠَﺳِﮫْﯿَﻠَﻋَوُﷲﻰﱠﻠَﺻِﷲُلﻮُﺳَلﺎَﻗَر:َلﺎَﻗ،َة
َﺮْﯾ ﻲِﺑَأَﺮُھْﻦَﻋ
(ﺪﻤﺣا
هاور) " ِق ﻼْﺧََﺢِﻟﺎَﺻْﻷاَﻢِّﻤَﺗُ ِﻷ
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw.
bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak” (H. R.
Ahmad)
Coba perhatikan fenomena dunia
zaman sekarang! Banyak orang kelihatannya berilmu, tapi ilmunya kurang atau
bahkan tidak dapat membimbing kehendaknya untuk mendorong melakukan
tindakan-tindakan yang dapat membawa manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat.
Kenapa? Jawabnya sederhanya karena ilmunya tidak mengandung hikmah.
Bagaimana, sekarang sudah mulai
nyambung? Kita lanjutkan, memahami konsep hikmah.
Hikmah sebagai konsep itu
mencakup empat turunan, yakni: husnu
at-tadbir (baik pemikirannya), judat
adz-dzihn (jernih pemikirannya), tsiqabah
ar-ra’yi (tajam
pemikirannya) dan shawab azh-zhann (tepat pemikirannya) (Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal,
1964; h. 284)
Mari kita analisis konsep turunan hikmah tersebut di atas satu persatu.
a. Husnu at-Tadbir
Seseorang yang memiliki hikmah
akan menjadi husnu at-tadbir yakni
cerdas dan lurus jalan fikirannya dalam mengistimbatkan
(mengambil kesimpulan). Ia akan bisa mengambil yang terbaik, dan paling
bermanfaat dalam berbagai urusan, sesulit apapun dan segawat apapun. Ia tidak
sekedar cerdas (kayyis), tetapi mampu
memikirkan hal-hal yang abstrak dengan benar sehingga dapat mengambil keputusan
yang menghasilkan kebaikan-kebaikan yang agung dan akhir yang mulia dalam
berbagai urusan kehidupan.
Seseorang yang memiliki hikmah
akan menjadi jaudat adz-dzihn, yakni
memiliki kemampuan untuk dapat berfikir memperoleh kebijaksanaan ketika
dihadapkan pada pendapat yang mirip-mirip dan mengandung
pertentanagan-pertentangan dalam implementasi. Ia akan selalu mendapatkan kosep
yang memberikan manfaat sesamanya dan diterima oleh berbagai pihak.
c. Tsiqabah ar-Ra’yi
Seseorang yang memiliki hikmah
akan menjadi tsiqabah ar-ra’yi, yakni
mempunyai kecepatan kemampuan dalam menghubungkan data-data yang dimilikinya
dengan sebab akibat yang mengasilkan kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat.
d. Shawab azh-Zhann
Seseorang yang memiliki hikmah
akan menjadi shawab azh-zhann, yakni
ia akan mendapatkan taufiq dari Allah
Swt. dengan kesesuaian antara dugaan yang terdapat dalam alam fikirannya dengan
kebenaran hakiki tanpa harus lama-lama memikirkannya.
Kebalikan dari Quwwah al-Ilmi adalah lemahnya ilmu atau
kebodohan, terbagi dalam dua konsep, yaitu radzilah
al-khibb dan radzilah al-balah. Radzilah al-khabb terdiri dari ad-dahaa (tertipu) dan al-jarbazah (lemah berfikir) yaitu.
Logikanya kurang sehat atau kurang lurus sehingga ketika mengambil kesimpulan
sering kali tidak benar, apa yang dikatakannya baik ternyata buruk atau
sebaliknya.
Sementara radzilah al-balah terdiri dari tiga hal; pertama kebodohan sebab
karena kurang pengalaman belajar, kedua kebodohan sebab dari bawaan seperti
idiot dan ketiga kebodohan sebab hilangnya akal atau gila.
Ilmu dalam bentuk hikmah seperti
dijelaskan di atas sangat penting dalam membentuk menanamkan dan mendidik
akhlak seseorang, karena ia dapat membentuk konsep diri (manset) seseorang. Apabila konsep diri seseorang tentang perbuatan
itu baik, maka kelak ia akan menjadi baik perbuatannya, sebaliknya apabila
konsep dirinya buruk maka mereka akan menjadi buruk perbuatannya pula.
Belum ada Komentar untuk " Akhlak Al Karimah"
Posting Komentar